PENDIDIKAN
ISLAM: ALTERNATIF FILTERISASI GLOBALISASI
(Suatu Upaya Membumikan Syari’ah di
Aceh)
Oleh:
Suadi & Yuswardi Syukri Reubee
Abstract
Syari’ah
(Islamic law) has formalized about eight years ago in Aceh but do not have a
significant impact on the Acehnese’ behavior changes consistent with Islamic
values. One of the main obstacles is globalization. Thus we need other
alternative in order to implement Islamic law more effective for Acehnese, it
is Islamic education. It’s expected can filter globalization. Intended
education is not merely in the form of Islamic education institutions, such
as pesantren and madrasah today which substance is less Islamic, but Islamic education
is education based on Islamic value of the universality. This is realized
through the education system reform and review the scope of Islamic studies
.
Keywords:
Islamic Education, Islamic Law, and Globalizatio
Pendahuluan
Formalisasi
Syari’at Islam di Aceh hampir mencapai
usia delapan tahun, terhitung 15 Maret
2002 (1 Muharram 1423 H), namun belum
memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perubahan kehidupan masyarakat Aceh, kecuali hanya dalam tatacara berbusana, banyak wanita yang keluar
rumah menutup kepala, tetapi hanya sebagian
kecil dari mereka yang menutup aurat, penulisan nama kantor/lembaga dengan huruf
Arab[1].
Kondisi Aceh tidak jauh berbeda dengan era sebelum syari’at Islam diformal-legalkan
sebagai hukum resmi daerah. Kesenjangan sosial masih sangat tinggi, korupsi meraja-lela dari tingkat
pejabat hingga tingkat rakyat[2],
kolusi dan nepotisme dianggap wajar, perampokan, pemerkosaan dan perzinahan,
penyalahguna narkoba dan sabu-sabu masih
sering mengisi berita di media massa. Bahkan ada aknum Wilayatul Hisbah di Kota Langsa yang
terjurumus kepada pemerkosaan terhadap tahanan wanita yang diduka berkhalwat.
Berdasarkan uraian realita di atas nampaknya cita-cita masyarakat
Aceh bernostalgia kepada masa Serambi Mekkah agak sulit diwujudkan melalui
formalisasi syari’at, apalagi bercita-cita
menjadikan Aceh sebagai Madinah al-Fadhillah seperti yang pernah
diimpikan al-Farabi, di mana orang –orang tinggal bersama di dalam sebuah kota
semuanya hidup bahagia, tidak ada kezhaliman, semua orang hidup berkecukupan
dan berpenghasilan halal, semua orang
mempunyai kesadaran untuk bertindak sesuai dengan syari’at, jujur, adil,
amanah, optimis, tolong-menolong, dan lain-lain.
Fenomena
syari’at Islam di Aceh sebagaimana dideskripsikan di atas tentu sangat
berkaitan dengan perkembangan globalisasi yang telah membawa dampak negatif terhadap
pengikisan dan pemusnahan ideologi, norma-norma, dan nilai sosial budaya
masyarakat Aceh yang berkharakteristik islami. Di mana hal ini pada kejayaannya dijadikan sebagai landasan
ideal untuk bertindak dalam segala aspek kehidupan., sehingga muncul
kalimat-kalimat yang konstruktif terhadap pembentukan perilaku masyarakat ,
seperti; “hukum dengon adat lagee zat
dengan sipheut”, “gadeoh aneukmeupat jeurat gadeoh adat hana pat mita”. (hukum
Islam dengan adat budaya seperti zat dengan sifatnya tak dapat dipisahkan,
hilang/mati anak ada kubur tetapi hilang adat tidak tahu mau cari kemana[3].
Ali
Hasyimi menjelaskan bahwa makna yang tersirat dalam kalimat tersebut adalah
“Islam dan rakyat Aceh ibarat darah dengan daging. Hal itu berlaku dalam segala
bidang kehidupan; politik, ekonomi, keuangan, sosial budaya, dan tata susila”.
Kemudian kalimat yang kedua menurut Junus Melalatoa “mengisyaratkan bahwa adat
merupakan pedoman yang sifatnya abstrak, yang seharusnya tersimpan dalam
pikiran anggota masyarakat Aceh”[4].
Selanjutnya pribahasa Aceh memiliki nilai hidup sederhana, “ngui meulaku tuboh pajoh
meulaku harta” berpakain sesuai dengan badan dan makan sesuai dengan harta[5]).
Globalisasi
tidak saja berdampak negatif terhadap kehidupan masyarakat, tetapi juga memiliki
dampak positif, antaranya yang paling menonjol adalah percepatan memperoleh
informasi melalui dunia televisi dan internet. Globalisasi erat kaitannya
dengan modernisasi dan sekulerisasi, sehinngga orang “anti Barat” memaknainya
westernisasi yang berlebel “Three in One” yang menjadi tantangan besar bagi berlakunya
Syari’at Islam di Aceh. Mereka sudah sedang menyusup ke dalam otak masyarakat
Aceh, ia menyerang melalui semua aspek kehidupan, budaya, ekonomi, politik dan
pendidikan. Saya pastikan tidak ada orang Aceh yang lepas dari pengaruh tiga
hal tersebut, sekalipun ulama besar. Namun tentu tidak semua masyarakat Aceh
menjadi crisis identity akibat hal
tersebut, bahkan mungkin lebih memperjelas dirinya sebagai orang Aceh yang
bercitra islami dengan cara memanfaatkan globalisasi, modernisasi dan
sekulerisasi.
Globalisasi vs Norma Lokal Aceh
Globalisasi merupakan sebuah gagasan yang banyak
diperbincangkan. Secara umum era globalisasi ditandai dengan kemajuan di bidang
teknologi komunikasi, transportasi dan informasi yang sedemikian cepat.
Kemajuan di bidang ini membuat segala kejadian di negara yang jauh dapat
diketahui oleh masyarakat di negara lainnya saat itu juga, sementara jarak
tempuh yang sedemikian jauh dapat dijangkau dalam waktu yang singkat sehingga
dunia ini menjadi seperti sebuah kampung yang kecil (Ahmed, 1990: 1). Giddens[6]
mendefinisikan globalisasi sebagai proses transformsi ruang dan waktu,
menghilangkan batas territorial dan meniadakan estimasi waktu, dunia menjadi
kecil dan konsep nation state mulai
memudar. Globalisasi merombak hidup kita secara besar – besaran. Ia berasal
dari Barat, namun bukan berarti sekedar dominasi Barat terhadap yang lain;
tetapi juga sebaliknya,[7]
namun yang kuat tentunya mendominasi yang lemah. Selanjutnya menurut Huntington[8]
globalisai merupakan proses universalisasi peradaban, konsep-konsep moralitas
masyarakat di belahan dunia tidak jauh berbeda, tentang apa yang benar dan apa
yang salah.
Norma lokal Aceh adalah adat/hukum adat. Adat kemudian
diartikan tradisi, bukan kebiasaan (habits).
Tradisi merumuskan semacam kebenaran yang menjadi kerangka tindakan
individu dan kelompok yang sebagian besarnya tidak dipertanyakan (Giddens,
2001: 39), kecuali oleh orang-orang yang menamakan dirinya modern, mendewakan
rasionalitas, bagi mereka tradisi adalah sisi gelap modernitas. Hal-hal yang
bersifat tradisional dipandang sebagai masalah/penghambat kemajuan yang mesti
dilenyapkan. Semua bersifat tradisional harus digantikan dengan modern jika
ingin maju. Standard maju dan tertinggal pun diciptakan sedemikian rupa, yang
mengarahkan kita kepada kemajuan yang dicapai oleh Barat. Kemajuan diukur dari
pesatnya perkembangan teknologi dan pembangunan industri.
Berbicara adat/tradisi Aceh sebagai norma masyarakat tentu
tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai Islam, jadi penghapusan sebagian
tradisi hampir bisa dipastikan merupakan pengikisan nilai-nilai Islam itu
sendiri, yang pada akhirnya merusak tatanan kehidupan sosial masyarakat Aceh
yang sudah mapan. Sebagai contoh yang sangat konkrit adalah konsep demokrasi
Barat yang telah menjalar ke gampong-gampong bahkan tingkat keluarga, kebenaran
tidak lagi beasaskan Islam tetapi atas mayoritas suara, Beras Miskin (Raskin)
dijatahkan bagi orang miskin, namun dibagi juga untuk orang kaya, dengan alasan
hasil musyawarah masyarakat. Hal ini sudah dipandang sebagai tindakan benar,
walaupun sebenarnya pada orang kaya lah terdapat hak (harta) orang miskin yang
diberikan lewat sadakah dan zakat, bukan yang kaya mengambil hak dari orang
miskin.
Selain itu, khalwat juga masih sangat fenomenal di Aceh
walaupun sudah ada penegak hukum syari’at yang mengawasi hal tersebut. Perilaku
khalwat tersebut tentu tidak terlepas dari pengaruh tayangan televisi[9]
yang mempertontonkan perilaku seperti itu, yang kemudian dianggap benar oleh
kalangan remaja. Pelukan dengan lawan jenis bukan muhrim di atas kendaraan yang
melintasi tempat-tempat umum misalnya, dianggap hal yang wajar, mereka tidak
merasa malu dan masyarakat yang melihatnya pun tidak berbuat apa-apa, seakan-akan
masyarakat menyetujuinya dengan adanya pemahaman tentang Hak Asasi Manusia
(HAM) yang dikampayekan oleh Barat. Bahkan sebagian keluarga sudah merasa
bangga jika anak gadisnya dikunjungi oleh pemuda dan dibawa jalan-jalan
walaupun jika dilihat dari usianya belum memasuki usia pernikahan. Dalam kontek
Aceh tempo dulu hal seperti ini menjadi aib bagi keluarga, dan masyarakat
lingkungan memberikan kontrol sosial terhadap perilaku seperti ini. Dalam
konsep menjaga anak atau genarasi dari perilaku penyimpang, dulu masyarakat
Aceh masih berpegang pada motto “anakku juga anakmu”.
Atas dasar realita di atas dapat disimpulkan bahwa
globalisasi bagi masyarakat masih banyak membawa dampak negatifnya ketimbang
dampak positif. Di era globalisasi Aceh belum bisa mewarnai dunia lain, Aceh
masih diwarnai oleh dunia lain. Orang Aceh yang dikenal memiliki mental berani
dan pantang menyerah di medan perang belum tangguh untuk berperang budaya,
melawan budaya Barat. Dalam hal ini konsep Giddens yang mengatakan globalisasi juga
dapat bermakna negara lain dapat mendominasi Barat, belum berlaku di Aceh.
Untuk menghidupkan kembali dan memelihara tradisi Aceh dari
ancaman globalisasi yang menghambat revitalisasi syari’at di Aceh perlu dicari
jalan alternatif lain, di samping melalui politik (secara srtuktural
pemerintah) tetap dimaksimalkan. Salah satunya alternatif adalah melalui
pendidikan islam.
Pendidikan Islam
Secara umum
pendidikan pada hakekatnya merupakan suatu upaya mewariskan dan menanamkan
nilai, yang akan menjadi penolong dan penuntun umat manusia dalam menjalani
kehidupan, guna memperbaiki nasib dan peradabannya. Tanpa pendidikan,
manusia tidak berbeda dengan dengan
makhluk lainnya di muka bumi, tidak berbeda manusia zaman dulu dengan generasi
manusia sekarang. Secra ekstrim dapat
dikatakan, bahwa maju mundurnya atau baik buruknya peradaban suatu masyarakat,
suatu bangsa, sangat ditentukan oleh bagaimana pendidikan yang diterapkan pada
masyarakat dan bangsa tersebut.
Dalam Islam, secara
bahasa pendidikan dikenal dengan kata “tarbiyah”, yang berasal dari
bahasa Arab, kata kerjanya “rabba” yang mendidik. Kata yang sering
melekat dengan tarbiyah adalah “ta’lim”,
yang bermakna pengajaran. Sehingga dalam lembaga dikenal istilah Tarbiyah wa Ta’lim. Pendidikan Islam
dalam bahasa Arab disebut Tarbiyah Islamiyah[10].
Sedangkan menurut istilah Pendidikan Islam adalah sebuah proses yang dilakukan
untuk menciptakan manusia-manusia yang seutuhnya; beriman dan bertaqwa serta
mampu mewujudkan eksistensinya sebagai khalifah Allah di muka bumi, yang
berdasarkan ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah. Selanjutnya menurut Arifin[11] bahwa pendidikan Islam
berupaya untuk mengembangkan semua aspek kehidupan manusia yang meliputi
spritual, intelektual, imajinasi, keilmiyahan; baik individu maupun kelompok,
dan memberi dorongan bagi dinamika aspek-aspek tersebut menuju kebaikan dan
pencapaian kesempurnaan hidup baik dalam hubungannya dengan al-Khaliq, sesama
manusia, maupun dengan alam.
Pendidikan Islam memiliki azas long life education, artinya ilmu dituntut
sejak dari ayunan sampai ke liang kubur, sebagaimana dipesankan oleh nabi “Uthlubul ‘ilmi minal mahdi ilallahdi”, dan
inklusif, tanpa dibatasi pada ilmu aqidah saja tetapi juga ilmu umum lainnya
yang bersifat duniawi. Hal ini dapat dimaknai dari hadis nabi “Uthlubil ‘ilmi
walau bisshiin” (tuntutlah ilmu walau ke negeri cina). Sebagaimana juga
disampaikan Syafii Ma’arif, bahwa pada masa nabi pendidikan Islam pada awalnya
lebih tertuju pada pemberdayaan aqidah. Nabi mengupayakan menempatkan
pendidikan sebagai aspek yang sangat penting, dengan menggalakkan umat melalui
wahyu agar mencari ilmu sebanyak-banyaknya, dan setinggi-tingginya.
Masjid-masjid, pada periode awal kenabian dijadikan sebagai pusat pengembangan
ilmu dan pendidikan, sekalipun masih mengkhususkan pada menghafal al-Qur’an,
belajar hadis, dan sirah Nabi. Sementara disiplin-disiplin lain seperti
filsafat, ilmu kimia, matematika, dan astrologi kemudian juga berkembang, namun
tidak dimasukkan dalam kurikulum formal. Semua disiplin ini diajarkan atas
dasar kesadaran orang tua untuk mencarikan guru demi kemajuan anaknya.[12] Inti kurikulum madrasah hanya
terpusat pada al-Qur’an, hadis, fiqh, dan Bahasa Arab. Sementara ilmu lainnya seperti
filsafat, kimia, astronomi, dan matematika, dipelajari secara individual dan
dalam lingkungan yang terbatas. Bahkan disiplin-disiplin ini ditempatkan di
bawah payung disiplin lain seperti ilmu perobatan.
Berdasarkan uraian singkat di atas,
dapat dipahami bahwa fungsi dan tujuan pendidikan Islam tidak sekedar menciptakan
manusia untuk berdaya dalam mengarungi kehidupan yang berkecukupan materil.
sebagaimana fungsi pendidikan pada umumnya. Fungsi dan tujuan pendidikan Islam
harus memberdayakan atau berusaha menolong manusia untuk mencapai kebahagian
dunia dan akhirat. Oleh karenanya, maka konsep dasarnya bertujuan untuk
melahirkan manusia-manusia yang bermutu yang akan mengelola dan memanfaatkan
bumi ini dengan ilmu pengetahuan untuk kebahagiannya, yang dilandasai pada
konsep spritual untuk mencapai kebahagian akhiratnya.
Pendidikan Islam di
Aceh Dewasa ini
Salah satu keistimewaan yang dimiliki
Aceh adalah keistimewaan dalam bidang pendidikan. Secara yuridis pemerintah
pusat telah memberikan hak istimewa tersebut kepada Aceh melalui Undang-Undang
No. 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Daerah istimewa Aceh sebagai provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam. Belum cukup dengan itu pemerintah pusat kembali
mempertegaskan lagi dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh (UUPA). Dalam kedua undang-undang tersebut Aceh dinyatakan
mendapat hak istimewa di bidang pendidikan.
Dalam UUPA pasal 215 ayat 1 disebutkan “Pendidikan
yang diselenggarakan di Aceh merupakan satu kesatuan dengan sistem pendidikan
nasional yang disesuaikan dengan karakteristik, potensi, dan kebutuhan
masyarakat setempat”. Hal ini bermakna Aceh memungkinkan mengembangkan
pendidikan formal sesuai dengan nilai-nilai religius dan sosiokultural
masyarakatnya, sehingga pendidikan di Aceh mencapai tujuannya sesuai dengan
tuntutan dari pendidikan Islam. Yang perlu dipikirkan adalah bagaimana bentuk
dan strategi pelaksanaanya agar tidak terbentur dengan sistem pendidikan
nasional.
Namun demikian sangat disayangkan
peluang yuridis tersebut nampaknya belum dimanfaatkan oleh Pemerintah Aceh
dalam mengelola pendidikan yang berfungsi sesuai dengan tuntutan Islam.
Pelaksanan pendidikan di Aceh hingga saat ini masih sama dengan daerah lainnya
di Indonesia. Pemahaman dikotomis antara pendidikan agama dan umum masih sangat
kentara, konfigurasinya hanya memasukkan mata pelajaran agama pada pendidikan
umum dan memasukkan mata pelajaran umum pada pendidikan agama. Kondisi ini
tentu nilai-nilai agama belum mampu dilekatkan pada setiap mata pelajaran umum,
sehingga orang pintar tidak ada jaminan tinggi akhlaknya, karena ilmu yang dia
miliki tidak membawanya lebih dekat dengan Allah.
Maka jangan terkejut melihat perilaku
masyarakat, baik muda maupun tua yang menyimpang dari agama, walaupun mereka
sudah mendapat pendidikan karena biayanya murah, bahkan digratiskan. Bahkan
sebagiannya tambah tinggi pendidikan bertambah sekuler pula pemikirannya,
sehingga memandang agama hanya mengatur masalah individu denga Tuhannya, maka
iapun shalat rajin, tetapi korupsi, kolusi, dan nepotisme pun tekun, pergaulan
bebas, perzinahan dianggap wajar karena hanya interaksi manusia dengan manusia untuk memenuhi
kebutuhan biologisnya.
Untuk itu pelaksanaan pendidikan Islam yang
memungkinkan pencapaian cita-cita Islam perlu dipikirkan kembali, pendidikan
Islam yang selama ini dijalankan perlu didesain ulang. Pihak yang berwenang dan
berkompenten perlu didesak untuk melakukan inovasi dan reformasi, tidak hanya
yang bersangkutan dengan kurikulum dan perangkat manajemen, tetapi juga
strategi, model dan taktik operasionalnya. Dengan demikian institusi-institusi
pendidikan, baik formal maupun non formal lebih efektif dan efisien dalam proses
islamisasi pendidikan di Aceh, sehingga memiliki nilai paedagogis, sosiologis
dan kultural yang islami, yang kemudian menunjukkan perannya membina ummat
manusia untuk memperoleh kebahagian dunia dan akhirat sesuai dengan tuntutan
Islam, “Rabbana atina fiddunya hasanah wa
filakhirati hasanah”.
Pendidikan Islam untuk
Revitalisasi Syari’at Islam
Revitalisasi
syari’at Islam di Aceh merupakan impian mayoritas masyarakat Aceh yang sudah
lama tak kunjung nyata, sejak zaman penjajahan hingga zaman pencerahan, bahkan
hingga sekarang ini yang dikenal dengan zaman damai oleh masyarakat Aceh. Jika
pendidikan Islam mencapai tujuannya sebenarnya penerapan syari’at Islam tidak perlu
diperdebatkan, karena syari’at sudah ada dalam setiap orang Aceh. Untuk
mencapai tujuannya perlu dilakukan reformasi terhadap sistem pendidikan yang
sesuai dengan nilai-nilai Islam. Berbicara sistem pendidikan berarti menyangkut
dengan berbagai macam elemen yang berkaitan dengan pendidikan. Menurut Marimba
elemen-elemen pendidikan adalah tujuan pendidikan, peserta didik, pendidik,
alat/fasilitas pendidikan, dan lingkungan pendidikan.[13]
- Tujuan, tujuan pendidikan Islam adalah membentuk insan kamil, yang dalam pendidikan nasional diperjelaskan melalui Pasal 3 UU No. 20/2003 tentang Sisdiknas , pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Menurut Ali Aljumbulati[14] pendidikan Islam memiliki dua tujuan, yaitu keagamaan dan keduniaan. Tujuan keagamaan adalah mempertemukan diri pribadi dengan Tuhannya melalui kitab-kitab suci yang menjelaskan tentang hak dan kewajiban, sunnat dan yang fardhu bagi yang mukallaf. Sementara tujuan keduniaan ialah mempersiapkan anak didik menghadapi kehidupan masa depan dengan mengarahkan kepada pekerjaan yang berguna (pragmatis).
- Peserta didik, peserta didik merupakan individu yang memiliki potensi, sedang berkembang, butuh bimbingan dan berkemampuan untuk mandiri. Setiap peserta didik tentu memiliki potensi yang berbeda dengan yang lainnya, sehingga perlakuaan bimbingan pun tidak boleh disamaratakan. Kadang perlu perlakuan khusus terhadap anak didik tertentu. Dengan demikian tidak ada anak didik yang terbelakang setelah menerima pendidikan. Peserta didik dijadikan sebagai subyek pendidikan dan diperlakukan secara manusiawi.
- Pendidik, pendidik adalah orang yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pendidikan dengan sasaran peserta didik. Pendidik harus berkepribadian mulia, taqwa, dan beriman kepada Allah. Pendidik tidak hanya mengajarkan ilmunya kepada anak didik, tetapi juga bertanggung jawab untuk memberi petunjuk kepada peserta didik dalam meniti kehidupan dengan membekalinya etika dan akhlak yang mulia[15]. Untuk itu pendidik direkrut secara selektif dengan mempertimbangkan kemampuan dan sifat-sifat mulia yang dimilikinya. Dengan demikian, pendidik tidak bisa direkrut hanya melalui ujian tulis melainkan juga perlu dilakukan interview bahkan jika memungkinkan perlu diselidiki asal-usulnya.
4. Alat
pendidikan, alat pendidikan adalah usaha–usaha atau perbuatan–perbuatan
sipendidik yang ditujukan untuk melaksanakan tugas mendidik.[16]
Dalam hal ini, alat pendidikan harus searah dengan al Quran dan sunnah.
5. Linkungan
pendidikan, lingkungan pendidikan adalah tempat belansungnya pendidikan yang
meliputi keluarga, sekolah, dan masyarakat. Dengan demikia, pembentukan
kepribadian anak bukan saja tanggung jawab lembaga pendidikan tetapi keluarga
dan masyarakat lingkungan turut bertanggujwab terhadap anak. Mengingat
pendidikan utama adalah kelurga maka untuk mencapai tujuan pendidikan islam,
kehidupan keluarga harus berkarakteristik islami, karena anggota keluarga
merupakan panutan awal bagi sianak. Begitu juga halnya dengan lingkungan
masyrakat, pemerintah bertanggung jawab untuk menciptakan masyarakat yang
islami, karena sianak ketika meranjak dewasa lebih banyak berinteraksi dengan
lingkungan masyarakat ketimbang keluarga dan sekolah. Dengan demikian pengaruh
lingkungan masyarakat dominan
mempengaruhi pembetukan kepribadian sianak.
Untuk mendukung tercapainya tujuan
pendidikan tersebut, maka penyelenggaraan pendidikan Islam di sekolah mestinya
bukan sekadar transfer of knowledge atau to change mental attitude, akan tetapi
lebih diarahkan pada cita-cita ideal keislaman sebagai rahmat bagi seluruh alam
(rahmatan lil alamin) untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akherat, sesuai
dengan tuntutan Al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW.
Selain pembenahan system pendidikan
sebagaimana diutarakan di atas perlu disepakati ruang lingkup studi islam atau
obyek pengkajian ilmu-ilmu keislaman, yang selama ini adanya klasifikasi ilmu
agama dan umum. Menurut Iman Suprayogo[17]
studi islam harus dibangun berdasarkan universalitas ajaran islam yang
digambarkan sebagai sebuah pohon yang kokoh akarnya dan rindang. Akar yang
kokoh adalah bahasa Arab, logika dan filsafat, ilmu alam dan sosial. Batangnya
adalah ilmu-ilmu yang terkait dan bersumber langsung dari al Quran dan hadis.
Sementara dahan dan ranting adalam ilmu modern seperti kedokteran, psikologi,
sosiologi, ekonomi, politik, dan lain sebagainya. Dengan demikian, keilmuan
tersebut dapat difahami secara utuh dan adanya integrasi ilmu agama dan umum,
sehingga tidak terjadi dikotomi.
Penutup
Berdasrkan uraian di atas
dapat disimpulkan bahwa alternative untuk memfilter dampak negative dari
globalisasi dalam upaya menerapkan syriat Islam bagi masyarakat Aceh yang lebih
efektif adalah melalui pendidikan islam . pendidikan islam yang dimaksud bukan
sekedar pendidikan Islam dalam bentuk
lembaga, seperti pesantren dan madrasah dewasa ini, yang substansinya kurang
islmai, tetapi pendidikan yang berazaskan nilai universalitas keislaman
yang dapat menghilangkan dikotomi
keilmuan.
Hal ini, dapat diwujudkan
melalui pendidikan Islam dan peninjauan kembali ruang lingkup studi keislaman.
Untuk itu, diharapkan kepada pihak berwenang seperti pemerintah
melaulaui majelis pendidikan daerah dan dinas pendidikan, pemimpin dayah serta
ilmuan diperguruan tinggi agar bermusyawarh untuk menyatukan persepsi
dalammelakukan reformasi pendidikan Islam guna mendukung pelaksanaan syariat islam secara
menyeluru.
DAFTAR PUSTAKA
Melalatoa, Junus, ddk, Aceh
Kembali ke Masa Depan, Jakarta: IKJ Press, 2005
Giddens,
Anthony, Beyond Left and Right; Tarian Ideologi Alternatif di atas Pusara
Sosialisme dan Kapitalisme, Yogjakarta: IRCISoD, 2003
Giddens, Anthony, Runway World;
Bagaimana Globalisasi Merombak kehidupan Kita, Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2001
Huntington, Samuel P., Benturan Antar Peradaban, Yogjakarta:
Qalam, 2002
Darajat, Zakiah, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi
Aksara, 2004
Arifin, Kapita
Selekta Pendidikan, Jakarta: Bina Aksara, 1999
Ma’arif,
Syafii, Keutuhan dan Kebersamaan dalam Pengelolaan
Pendidikan Sebagai Wawasan Pendidikan Muhammadiyah, Makalah pada Rakernas
Pendidikan Muhammadiyah di Pondok Gede, Jakarta, 1996
Hasbullah,
Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2003
Al jumbulati, Ali, Perbandingan
Pendidikan Islam Jakarta: PT Renika Cipta, 1994
Muhammad
Fahmi, Etika Pendidik dalam Pendidikan Islam Telaah atas pemikiran Al-Gazali,
http://hidayah/ilayya.blogspot.com/2009
Purwanto,
M. Ngalim, Ilmu Pendidikan Teoretis dan Praktis, Bandung: Remaja RosdaKarya,
2007
Suprayogo,
Imam, Tarbiyah Ulil al Bab: Dzikir, Fikr, dan Amal Shaleh, Malang: UIN, 2004
[1] Huruf Arab bukan Bahasa Arab, di
kalangan masyarakat Aceh dikenal dengan bahasa Arab Jawi, yang jika dilihat
orang Arab dia tidak bisa membaca dan tidak tahu arti.
[2] Banyak bantuan yang diberikan
kepada rakyat tidak dimanfaatkan sesuai ketentuan, beras untuk orang miskin
dibagi sama rata antara orang miskin
dengan yang kaya atas dasar musyawarah bersama, bantuan dana produktif bergulir
tidak dikembalikan, orang yang tidak berhak mendapat bantuan berupaya
mempengaruhi pihak donator untuk mendapat bantuan sehingga orang yang berhak
menerima trsingkirkan.
[3] Kalimat ini memiliki makna yang
dalam, dalam menegakkan adat (nilai dan norma-morma) yang berlaku tidak pilih kasih, jika anak sendiri yang
melanggar maka harus dihukum walaupun hukumannya mati, seperti yang dilakukan
oleh Raja Iskandar Muda terhadap anaknya yang melakukan perzinahan, beliau
menyiram timah kedalam kerongkongan anaknnya hingga dia mati.
[4] Junus Melalatoa, ddk, Aceh Kembali
ke Masa Depan (Jakarta: IKJ Press, 2005), h. 31
[5] Kalimat ini bermakna agar masyarakat
berperfomen tidak berlebihan, disesuaikan dengan kemampuan material yang
dimiliki dan tidak perlu iri terhadap orang lain.
[6] Giddens, Anthony, Beyond Left and Right; Tarian Ideologi
Alternatif di atas Pusara Sosialisme dan Kapitalisme, (Yogjakarta: IRCISoD,
2003), h. 18
[7]Anthony Giddens, Runway
World; Bagaimana Globalisasi Merombak kehidupan Kita, (Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2001), h. xvi
[8]Samuel P. Huntington, Benturan Antar Peradaban, (Yogjakarta:
Qalam, 2002), h. 75
[9] Televisi bagi anak-anak dan
remaja dewasa ini merupakan main class, sementara
pendidikan di sekolah mejadi second
class, artinya penddikan televisi lebih melekat dalam dirinya ketimbang
pendidikan sekolah. Pendidikan sekolah tentu membosannkan bagi anak-anak,
sedangkan pendidikan televisi merupakan hal yang menyenangkan.
[10] Zakiah Darajat, Ilmu
Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), h. 25
[11] Arifin,
Kapita Selekta Pendidikan, (Jakarta: Bina Aksara, 1999), h. 15
[12]Syafii Ma’arif, Keutuhan dan
Kebersamaan dalam Pengelolaan Pendidikan Sebagai Wawasan Pendidikan
Muhammadiyah, (Makalah pada Rakernas Pendidikan Muhammadiyah di Pondok
Gede, Jakarta, 1996), h. 2
[13] Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2003),
h. 123
[14] Ali Al jumbulati, Perbandingan Pendidikan Islam (Jakarta:
PT Renika Cipta, 1994), h. 37-38
[15] Muhammad Fahmi, Etika Pendidik dalam Pendidikan Islam (Telaah
atas pemikiran Al-Gazali), (http://hidayah/ilayya.blogspot.com/2009)
[16] M.Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoretis dan Praktis,
(Bandung: Remaja RosdaKarya, 2007), h.176
[17] Imam
Suprayogo, Tarbiyah Ulil al Bab: Dzikir,
Fikr, dan Amal Shaleh, (Malang: UIN, 2004), h. 14
Komentar
Posting Komentar