TASAWUF
(Asal-Usul, Pengertian, Tujuan,
Maqamat Dan Ahwal)
Oleh: Yuswardi Syukri Reubee
A.
PENDAHULUAN
Tasawuf dalam masyarakat
modern terasa kurang relevan, yang disebabkan dengan pelbagai macam kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Ia laksana keterasingan didalam kesibukan
manusia yang termonopoli dengan waktu untuk menggapai kehidupan material
yang berorientasi pada aspek ekonomi. Sehingga kajian tasawuf bagaikan
menampilkan suatu barang yang sangat antic atau unik yang mempertahankan diri
seseorang terhadap kepentingan duniawi. Ada
beberapa faktor yang menjadi penyebab terjadi hal yang tersebut di atas, antara
lain : “ berpangkal pada kecenderungan memahami tasawuf dalam melepaskan
kehidupan nyata dengan pakaian sederhana dan selalu pasrah dalam hidupnya sebagaia manifestasi kecintaannya pada akhirat dan membenci
kehidupan dunia. [1] Tasawuf
merupakan salah satu bidang studi Islam yang memusatkan perhatian pada
pensucian atau pembersihan aspek rohani manusia yang melangkah untuk dapat
menimbulkan ahklak yang mulia. Pensucian rohani atau pembersihan batin ini
dikenal dengan dimensi yang bersifat rahasia (esoterik) dari manusia.
Tasawuf yang bertujuan
untuk memperbaiki dan memfokuskan hati hanya kepada Allah ‘azza wa jalla
semata. Sedangkan ilmu fiqah yaitu ilmu yang bertujuan untuk memperbaiki amal, juga
memelihara undang-undang yang menimbulkan hikmah dari setiap hukum, dan hal ini
berbeda dengan ilmu fiqah, khususnya bab thaharah yang membahas atau membedah
masalah pensucian jasamani.
Menurut pemakalah tasawuf
adalah suatu ilmu yang menciptakan pondasi hablumminallah dan pensucian hati
manusia dari kotoran yang bersifat materi. Dapat dipahami bahwa islam sebagai agama yang universal dan
mencakup jawaban atas sebagai kebutuhan manusia, selain menginnginkan
kebersihan lahiriyah juga menghendaki
kesucian batiniyah karena penilaian yang hakiki dalam islam diberikan pada
aspek batinnya. Hal ini dapat dilihat pada salah satu syarat diterimanya amal
ibadah, yaitu harus disertai dengan niat.[2]
Dewasa ini masyarakat pada
dekadensi moral laksana gejala-gejala yang terlihat pada masa kekinian, dan
akibat negatifnya yang mulai terasa dalam kehidupan sehari-hari, masalah
tasawuf mulai mendapat perhatian serta dituntut peranannya untuk terlibat
langsung untuk mengatasi masalah-masalah yang bisa mengakibatkan semakin
merajalela prilaku-prilaku yang membuat dekadensi moral masyarakat.
Mengeker pentingnya
peranan tasawuf dalam berkelangsungan kehidupan manusia yang hakiki, dengan
demikian tidak mengejutkan bila mana kita melihat banyak yang muncul tentang
kajian-kajian tasawuf, maka jalan yang ditempuh adalah dengan melakukan Restrukturisasi
asal-usul tasawuf dan menelesuri tujuan tasawuf sebagaimana yang
dikehendaki oleh para Zuhud. Dengan demikian, pemakalah dalam ini mencoba
menguraikan asal-usul, pengertian, tujuan, maqamat dan ahwal.
B.
ASAL USUL DAN PENGERTIAN TASAWUF
1. Asal-usul Tasawuf
Istilah tasawuf sendiri belum ada di
zaman Rasulullah SAW. Ketika Rasulullah SAW masih hidup, bila kita menelaah
asal kata sufi baik dari melalui buku-buku atau kitab-kitab yang ditulis oleh
para ulama mulai dari pada masa lampau hingga saat ini belum pernah ada
kesepakatan dari ahli- ahli tasawuf tentang masalah ini.
Meskipun sudah ada pembagian ilmu
berdasar Iman, Islam, dan Ihsan, tetapi Rasulullah mengajarkan ketiganya
sekaligus. Karena
tasawuf timbul dalam Islam sesudah umat Islam
mempunyai kontak dengan agama Kristen, filsafat Yunani dan
agama Hindu dan Buddha, muncullah anggapan bahwa aliran
tasawuf lahir dalam Islam atas pengaruh dari luar.
Ada yang mengatakan bahwa pengaruhnya datang dari
rahib-rahib Kristen yang mengasingkan diri untuk beribadat
dan mendekatkan diri kepada Tuhan di gurun pasir Arabia.
Tempat mereka menjadi tujuan orang yang perlu bantuan di
padang yang gersang. Di siang hari, kemah mereka menjadi
tempat berteduh bagi orang yang kepanasan; dan di malam hari
lampu mereka menjadi petunjuk jalan bagi musafir.
Hal ini sangat efektif karena Rasul saat itu masih hidup sehingga menjadi contoh langsung terhadap ilmu Al Qur’an. Para sahabat pun adalah orang-orang terpilih yang langsung paham apa yang dimaksud oleh Rasulullah SAW. Seandainya mereka tidak faham mereka dapat bertanya langsung kepada Rasulullah SAW dan mendapat jawaban langsung dari Rasulullah SAW. [3] Sepeninggal Rasulullah dan para Sahabatnya, setelah Islam berkembang, ilmu-ilmu islam pun mengalami perkembangan yang hebat juga. Jika tadinya hanya iman, islam dan ihsan, mulailah muncul imlu-ilmu baru seperti ilmu tafsir, nahu sharaf, hadis, ushul fiqih dan lain-lain. Umat Islam pun terdiri dari berbagai macam bangsa dan berbagai bahasa. Untuk memudahkan dalam mempelajari Islam, para ulama Islam membagi ilmu-ilmu dengan memberinya istilah baru seperti aqidah untuk iman, fiqih untuk Islam, dan tasawuf untuk ihsan.
mempunyai kontak dengan agama Kristen, filsafat Yunani dan
agama Hindu dan Buddha, muncullah anggapan bahwa aliran
tasawuf lahir dalam Islam atas pengaruh dari luar.
Ada yang mengatakan bahwa pengaruhnya datang dari
rahib-rahib Kristen yang mengasingkan diri untuk beribadat
dan mendekatkan diri kepada Tuhan di gurun pasir Arabia.
Tempat mereka menjadi tujuan orang yang perlu bantuan di
padang yang gersang. Di siang hari, kemah mereka menjadi
tempat berteduh bagi orang yang kepanasan; dan di malam hari
lampu mereka menjadi petunjuk jalan bagi musafir.
Hal ini sangat efektif karena Rasul saat itu masih hidup sehingga menjadi contoh langsung terhadap ilmu Al Qur’an. Para sahabat pun adalah orang-orang terpilih yang langsung paham apa yang dimaksud oleh Rasulullah SAW. Seandainya mereka tidak faham mereka dapat bertanya langsung kepada Rasulullah SAW dan mendapat jawaban langsung dari Rasulullah SAW. [3] Sepeninggal Rasulullah dan para Sahabatnya, setelah Islam berkembang, ilmu-ilmu islam pun mengalami perkembangan yang hebat juga. Jika tadinya hanya iman, islam dan ihsan, mulailah muncul imlu-ilmu baru seperti ilmu tafsir, nahu sharaf, hadis, ushul fiqih dan lain-lain. Umat Islam pun terdiri dari berbagai macam bangsa dan berbagai bahasa. Untuk memudahkan dalam mempelajari Islam, para ulama Islam membagi ilmu-ilmu dengan memberinya istilah baru seperti aqidah untuk iman, fiqih untuk Islam, dan tasawuf untuk ihsan.
Dalam mempelajari ilmu Islam
dibolehkan secara terpisah seperti yang termaktub di atas, tetapi dalam
pengamalannya wajib serentak antara iman (aqidah), islam (fiqih) dan ihsan
(tasawuf). Dari Ihsan atau tasawuf inilah akan melahirkan akhlak yang mulia.
2. Pengertian
Tasawuf
Sukar mengemukakan definisi tasawuf
secara lengkap karena para ahli berbeda pendapat untuk mengartikannya dan
barangkali hanya menyetuh salah satu sudut saja, lagi pula tasawuf merupakan
pengalaman ibadah spiritual yang abstrak, yang mempunyai sifat obyektif. Oleh
sebab itu pemakalah mengemukakan beberapa asal kata. Pertama; Tasawuf berasal
dari kata saff, artinya barisan dalam salat berjamaah. Alasannya iman
yang
kuat,
jiwa yang bersih dan selalu memilih saf yang terdepan dalam salat berjamaah.[4] Kedua;
Suffah artinya pelana yang digunakan oleh para sahabat nabi yang miskin
untuk bantal tidur di atas bangku batu di samping mesjid Nabawi. Ada pula yang mengartikan
Isuffah suatu kamar di samping mesjid Nabawi yang disediakan untuk orang-orang
yang ikut pindah beserta Nabi dari Mekkah ke Madinah dan penghuni disebut ahl
suffah. Mereka mempunyai pendirian yang teguh dan tekun beribadah.[5] Kemudian dalam islam dapat dilihat ayat-ayat
yang membicarakan kedekatan manusia dengan Tuhan seperti Surat al-Baqarah 186: Jika hamba-hambaKu bertanya padamu tentang
diriKU Aku adalah dekat. Kemudian surat
Qaf ayat 16 : Sebenarnya kami ciptakan manusia dan kami tahu apa yang
dibisikan dirinya kepadaNya. Kami lebih dekat kepadanya dari pada pembuluh darahnya
sendiri. Berdasarkan ayat-ayat di atas bahwa untuk mencari Tuhan tidak
perlu harus pergi jauh. Cukup mengenali diri kita sendiri.
Tasawuf secara linguistic
(kebahasaan) dapat dipahamai bahwa tasawuf merupakan sikap mental yang selalu
memelihara kesucian diri, beribadah, hidup sederhana, rela berkorban untuk
kebaikan dan selalu bersikap bijaksana. Sikap jiwa yang seperti itu pada
hakikatnya adalah moral-moral yang berazaskan islam. Menurut ‘Abdul Qadir Isa tasawuf adalah penjernihan
hati dari kotoran materi, dan pondasinya adalah hubungan manusia dengan sang
pencipta yang Agung.[6]
Dengan demikian tasawuf
dapat dikatakan bahwa tasawuf adalah suatu usaha membiasakan diri dengan
pelbagai kegiatan yang dapat melapangkan atau membebaskan diri dari pengaruh
duniawi, sehingga mencapai suatu akhlak yang baik atau mulia serta dekat dengan
Allah maha pencipta. Dengan kata lain Tasawuf dapat dikatakan adalah satu sudut
yang mempunyai hubungan dengan pendidikan, pembekalan dan pembinaan mental rohaniah
agar selalu tidak jauh dengan Allah.
C.
TUJUAN TASAWUF
Tujuan tasawuf adalah mendekatkan diri sedekat mungkin
dengan Tuhan sehingga ia dapat melihat-Nya dengan mata hati. Tasawuf ya’ni ilmu
yang mempelajari tentang masalah pendekatan diri manusia kepada Tuhan dengan cara
penyucian jiwanya. Namun demikian, tujuan
tasawuf bukan kepada hal yang aneh-aneh. Ciri seorang sufi dapat dilihat dari
kehidupan sehari-hari dalam kehidupan moral bermasyarakat, sebab seseorang yang
semakin dekat dengan Allah maka akan semakin baik pula pada masyarakat. Para sufi tidak pernah mengklaim dirinya adalah seorang
sufi. Bahkan mereka akan menyembunyikan atribut kesufiannya. Kadang salat
sunahnya jarang dilakukan di depan orang, saat menjadi imam menggunakan ayat
yang pendek-pendek sehingga mereka tidak bersedia untuk show kesucian di depan
orang. Pamer merupakan penyakit hati yang harus
dijaui. ahasa Arab disebut maqamat yaitu tempat seorang calon sufi
menunggu sambil berusaha keras untuk membersihkan diri atau mensucikan diri.
Jalan yang ditempuh seseorang untuk sampai ke tingkat
melihat Tuhan dengan mata hati dan akhirnya bersatu dengan
Tuhan demikian panjang dan penuh duri. Bertahun-tahun orang
harus menempuh jalan yang sulit itu. Karena itu hanya
sedikit sekali orang yang bisa sampai punhcak tujuan tasawuf.
melihat Tuhan dengan mata hati dan akhirnya bersatu dengan
Tuhan demikian panjang dan penuh duri. Bertahun-tahun orang
harus menempuh jalan yang sulit itu. Karena itu hanya
sedikit sekali orang yang bisa sampai punhcak tujuan tasawuf.
Jalan itu disebut dalam bahasa Arab adalah tariqah, dan
dari sinilah
berasal kata tarekat dalam bahasa Indonesia. Jalan itu, intinya yaitu penyucian jiwa, dibagi kaum sufi ke dalam b cikan jiwanya agar dapat menggerakkan langkah selanjutnya dalam perjalanan babak atau tahap berikutnhya. Sebagaimana telah di sebut diatas penyucian diri diusahakan melalui ibadat, terutama puasa, shalat, membaca al-Qur'an dan dzikir. Maka, seorang calon sufi banyak melaksanakan ibadat. Tujuan semua ibadat dalam Islam ialah mendekatkan diri itu, terjadilah penyucian diri calon sufi secara berangsur.
berasal kata tarekat dalam bahasa Indonesia. Jalan itu, intinya yaitu penyucian jiwa, dibagi kaum sufi ke dalam b cikan jiwanya agar dapat menggerakkan langkah selanjutnya dalam perjalanan babak atau tahap berikutnhya. Sebagaimana telah di sebut diatas penyucian diri diusahakan melalui ibadat, terutama puasa, shalat, membaca al-Qur'an dan dzikir. Maka, seorang calon sufi banyak melaksanakan ibadat. Tujuan semua ibadat dalam Islam ialah mendekatkan diri itu, terjadilah penyucian diri calon sufi secara berangsur.
D.
MAQAMAT
Maqamat adalah bentuk jamak dari “maqam” mempunyai
pemahaman yaitu tahapan - (Tingkat At-Taubah, Zuhud (meninggalkan
ala kehidupan duniawi), al-warak (menghindari dari yang tidak baik dan
sia-sia), Al-faqr (orang yang berpaling perbuatan dan segala pikiran
kepada Tuhan), As-Sabar, At-Tawakkal, dan Ar-Ridhaa ) - yang
ditempuh untuk mencapai tarekat (thariqah)
kepada Tuhannya. Disebut sebagai 'maqam' untuk kemantapan dan
kepastiannya. Merupakan perjuangan salik dalam menempuh jalan (suluk)nya agar
dapat terus meningkat dari maqam yang satu ke maqam yang lain. Perjuangan ini
harus ditegakkan melalui latihan (riyadhah) dan perjuangan (mujahadah), atau melalui
usaha teguh salik untuk menegakkan dan memenuhi hak-hak yang diminta, dengan
niat yang jelas.
Jelas kiranya bahwa usaha
penyucian diri, merupakan langkah yang utama yaitu harus dilakukan oleh seseorang
untuk bertobat dari segala dosanya. Karena itu, juga merupakan suatu kewajiban
pertama dalam tasawuf adalah tobat. Pada tahap awal seorang calon sufi harus
melakukan tobat dari dosa-dosa besar
yang dilakukannya jika dalam tahap ini ia telah
berhasil, maka ia akan melangkaha ketahap bertobat dari dosa-dosa kecil,
kemudian dilanjutkan menghindari dari
perbuatan-perbuatan yang makruh dan seterusnya mengelak dari perbuatan
syubhat.
Dengan demikian, disini Tobat yang dimaksud adalah betul-betul tobat (taubah
nasuha), yaitu tobat yang membuat orangnya pada menyesal atas segala dosanya yang
dilakukan diwaktu silam dan betul-betul tidak akan berbuat atau mengulangi
kembali perbuatan dosa lagi meski sekecil apapun. Jelaslah bahwa usaha ini
memakan waktu panjang. Maqam datang dari hasil usaha dan curahan tenaga,
sedangkan hal datang dari desakan-desakan kedermawanan. Atau dapat juga dikatakan, maqamat adalah hasil
sedangkan ahwal adalah pemberian. Allah berfirman:[7] Dan
Allah berfirman pula: [8] Dengan demikian,
salik tidaklah meminta maqamat karena dzatnya, melainkan bahawa ia merupakan
tahap-tahap yang mengiris rintangan-rintangan jiwa di jalan yang melaju pada titik
puncak target atau sasaran, yaitu pendekatan dengan Allah. Maqamat tidak berjalan sesuai dengan kehendak orang
yang menginginkan (murid), bukan pula kerana ilmunya, Kekuasaannya, atau
kekuatannya, melainkan karena kurnia, taufik, serta pengarahan Tuhannya.
E. AHWAL
Adapun makna ahwal merupakan bentuk jamak dari hal, ialah
sesuatu dari kejernihan dzikir yang bertempat dalam hati, atau hati berada
dalam kejernihan dzikir tersebut. Menurut pemakalah adalah kejadian sesuatu
secara mendadak terjadi yang bertempat pada hati nurani manusia dan tidak bisa
lama (tidak abadi/berkekalan). Kemudian ada pemahaman yang menyebutkan bahwa
hal ialah dzikir secara samar (khafi).
Menurut ahli sufi, ahwal jamak dari hal yaitu situasi kejiwaan yang diperoleh
seseorang sebagai karunia Allah, bukan dari hasil usahanya. Datangnya dengan
kondisi yang tidak menentu, terkadang ia pergi begitu cepat (lawaih) ada
pula yang datang dan pergi dalam tempo yang lam (bawadih). Al-Qusyairi
mengatakan ahwal itu selalu bergerak naik setingkat demi setingkat ingá
sampai ke titik kulminasi, yaitu puncak kesempurnaan. [9]
Ahwal pada dasarnya merupakan manifestasi dari maqam
yang sudah mereka lalui, dimana kondisi mental yang mereka rasakan berasal atau
hasil dari amalan yang telah mrerka lakukan. Hanya saja orang sufi selalu
berhati-hati dan berserah diri lepada Allah, maka orang yang ingin
mendapatkannya harus selalu meningkatkan kulitas amalannya.
F. PENUTUP
Tasawuf merupakan salah satu
bidang ilmu dalam islam yang memfokuskan perhatian kepada pembersihan jiwa yang
memenculkan ahklak yang mulia bagi setiap orang. Mulanya tasawuf dikalangan
umat islam berawal dari kehidupan yang sederhana, makan hanya sekedar untuk
melangsungkan kehidupannya saja. Bahkan zuhud terhadap dunia.
Jalan untuk mendekatkan dirinya kepada Allah tidak
begitu mudah, tentunya melewati proses yang disebut dalam tasawuf maqamat (kedudukan
atau tingkatan). Menunjukkan nilai etika yang diperjuangakan oleh orang salik. Adapun ahwal merupakan bentuk jamak dari hal, ialah sesuatu dari kejernihan
dzikir yang bertempat dalam hati, atau hati berada dalam kejernihan dzikir
tersebut.
Menurut pemakalah adalah kejadian sesuatu secara mendadak
terjadi yang bertempat pada hati nurani manusia dan tidak bisa lama (tidak
abadi/berkekalan). Kemudian ada pemahaman yang menyebutkan bahwa hal ialah
dzikir secara samar (khafi).
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Hasyimi Al – sayyid
Ahmad, al-hadist al-nabawiyyah wa
al-hikmah al-muhammadiyyah, (Mesir: Matbah’ah Hijazi, 1948), cet. VI, hal.
29
Al-Nasyaburi al-Qusyairi, al-Risalah
al-Qusyairiyah fi Ilm at-Tasawuf,(Mesir, Daral-Kahair, tt) h. 115
Abd
Al Qadir, At-Tasawuf Fi Mizani Al Bashi Wa At-Tahqiq, ( maktabah madinah
an-Nabawiyah 1409 H/1990 M) h. 32
Lapidus Ira M., Sejarah
Sosial Ummat Islam, (Jakarta, Rajawali Press:
2000) cet. II, h. 304
Muhmmad
Abi Bakar bin Ishaq al-kalabazi, At-taaruf Li Mazhab ahl at-tasawuf,(Dar
Kutub al-Ilmiyah, Beirur: 1993) h. 9-10.
[2] Al
– sayyid Ahmad Al-Hasyimi, al-hadist
al-nabawiyyah wa al-hikmah al-muhammadiyyah, (Mesir: Matbah’ah Hijazi,
1948), cet. VI, hal. 29
[3]Lihat, (QS.
al-kahfi ayat: 28). Dan bersabarlah kamu besama-sama dengan orang-orang yang
menyeru Tuhannya dipagi dan senja hari dengan keridhaan-Nya; dan janganlah
kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan
dunia ini; dan jaganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah kami lalaikan
dari mengingati kami, serta meneruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu
melewati batas.
[6]‘ Isa
Abdul Qadir, Hakikat Tasawuf , (Jakarta: Qisthi Press,
2006), Cet. II, terjemahan, hal. 5
Komentar
Posting Komentar