PENELITIAN
KUALITATIF
Dalam
Pendekatan
Positivistik, Naturalistik, Simbolik dan Fenomenologik
Oleh: Yuswardi Syukri Reubee
A. Pendahuluan
Sebelum
sampai pada aspek yang lebih teknis, perlu memaparkan sedikit tentang
perihal metodologi
dalam arti umum, adalah studi yang logis dan sistematis tentang prinsip-prinsip
yang mengarahkan penelitian ilmiah. Dengan demikian, metodologi dimaksudkan
sebagai prinsip-prinsip dasar. Dalam bagan berikut, metodologi, dalam arti
prinsip dasar, digambarkan yang intinya terdiri atas: masalah, tujuan, tinjauan
pustaka, kerangka teori (jika ada), hipotesis (jika ada), dan cara penelitian.
Sedangkan cara penelitian atau methods atau desain penelitian digambarkan yang
intinya terdiri atas lima unsur (bahan, alat, jalannya penelitian, variabel
penelitian, analisis hasil).
Dalam bahasa sehari-hari, pengertian methodology dan methods ini
sering dikacaukan. Seringkali dijumpai istilah metodologi atau metode
penelitian, padahal yang dimaksudkan sebenarnya adalah methods atau cara
penelitian-sebagai salah satu tahap dalam metodologi penelitian yang kemudian
dituangkan dalam usulan penelitian. Dengan demikian, istilah ”metodologi” di
sini adalah dalam arti yang terbatas/sempit. Sebagai suatu pola, cara
penelitian tidak bersifat kaku-bagaimanapun, suatu cara hanyalah alat (jalan)
untuk mencapai tujuan. Cara penelitian digunakan secara bervariasi, tergantung
antara lain pada obyek (formal) ilmu pengetahuan, tujuan penelitian, dan tipe
data yang akan diperoleh. Penentuan cara penelitian sepenuhnya tergantung pada
logika dan konsistensi peneliti.
Dalam penelitian kualitatif Muncul satu pertanyaan, apa arti Penelitian
Kualiltatif ? Menurut Anselm Strauss dan Juliet Corbin; Istilah Penelitian
Kualitatif yang dimaksudkan adalah sebagai jenis penelitian yang
temuan-temuannya tidak diperoleh melalui prosedur statistic atau bentuk hitungan
lainnya.[1] Sebagaimana pendapat Van Maanen dalam
buku Heribertus B. Sutopo Riset yaitu kualitatif diarahkan pada asli subjek
penelitian berada. Dimana Kondisi subjek sama sekali tidak dijamah oleh
perlakuan (treatment) yang dikendalikan oleh penelitia seperti halnya dalam
penelitian bersifat percobaan (eksperimental).[2]
Terdapat kesalahan pemahaman di dalam masyarakat bahwa yang dinamakan sebagai
kegiatan penelitian adalah penelitian yang bercorak survei. Ditambah lagi ada
pemahaman lain bahwa penelitian yang benar jika menggunakan sebuah daftar
pertanyaan dan datanya dianalisa dengan menggunakan teknik statistik. Pemahaman
ini berkembang karena kuatnya pengaruh aliran positivistik dengan metode
penelitian kuantitatif. Ada dua kelompok metode penelitian dalam ilmu
sosial yakni metode penelitian kuantitatif dan metode penelitian kualitatif. Di
antara kedua metode ini sering timbul perdebatan di seputar masalah metodologi
penelitian. Masing-masing aliran berusaha mempertahankan kekuatan metodenya.
Salah satu argumen yang dikedepankan oleh metode penelitian kualitatif adalah
keunikan manusia atau gejala sosial yang tidak dapat dianalisa dengan metode
yang dipinjam dari ilmu eksakta.
sesuai dengan pendapat Dilthey (dalam Heribertus B. Sutopo) Pandangan baru ini
menyajikan kebenaran realitas subjektif yang dikenal sebagai realitas internal
yang menantang pandangan faham positivisme yang menganggap kebenaran realitas
objektif (eksternal) yang bersifat tunggal.[3] Metode penelitian kualitatif menekankan
pada metode penelitian observasi di lapangan dan datanya dianalisa dengan cara
non-statistik meskipun tidak selalu harus menabukan penggunaan angka.
Penelitian kualitatif lebih menekankan pada penggunaan diri si peneliti sebagai
alat. Peneliti harus mampu mengungkap gejala sosial di lapangan dengan
mengerahkan segenap fungsi inderawinya.
Dengan demikian, peneliti harus dapat diterima oleh responden dan lingkungannya
agar mampu mengungkap data yang tersembunyi melalui bahasa tutur, bahasa tubuh,
perilaku maupun ungkapan-ungkapan yang berkembang dalam dunia dan lingkungan
responden. Tampaknya tidak dapat kita menyangkal bahwa kehidupan manusia selalu
berubah sehingga memberikan umpan yang sangat menarik untuk dikaji dari rotasi
dalam proses perkembangan ilmu pengetahuan, tak lain adalah langkah-langkah
yang menyebabkan terjadinya daur perhatian.
Setiap
kegiatan penelitian sejak awal sudah harus ditentukan dengan jelas
pendekatan/desain penelitian apa yang akan diterapkan, hal ini dimaksudkan agar
penelitian tersebut dapat benar-benar mempunyai landasan kokoh dilihat dari
sudut metodologi penelitian, disamping pemahaman hasil penelitian yang
akan lebih proporsional apabila pembaca mengetahui pendekatan yang
diterapkan.
Secara
umum pendekatan penelitian atau sering juga
disebut
paradigma penelitian yang cukup dominan adalah paradigma penelitian kuantitatif
dan penelitian kualitatif. Namun dalam hal ini pemakalah membahas secara
umum penelitian kualitatif. Jenis penelitian yang digunakan yaitu
penelitian deskriptif karena menggambarkan kondisi secara sistematis, faktual,
dan akurat mengenai fakta-fakta kondisi sumberdaya yang terjadi dalam wilayah
serta penyelidikan (eksploratif) karena penelitian ini mencari dan menemukan
variabel-variabel maupun parameternya dari faktor penentu lokasi penelitian
atau wilayah penelitian. Penelitian kualitatif
(termasuk penelitian historis dan deskriptif) adalah penelitian yang tidak
menggunakan model-model matematik, statistik atau berpikir yang akan digunakan
dalam penelitian.
Asumsi
dan aturan berpikir tersebut selanjutnya diterapkan secara sistematis dalam
pengumpulan dan pengolahan data untuk memberikan penjelasan dan argumentasi.
Dalam penelitian kualitatif informasi yang dikumpulkan dan diolah harus tetap
obyektif dan tidak dipengaruhi oleh pendapat peneliti sendiri. penelitian kualitatif sebagai Jenis penelitian yang
temuan-temuannya tidak diperoleh melaui prosedur statistik atau bentuk hitungan
lainnya. Contohnya dapat berupa penelitian tentang kehidupan, riwayat, dan
perilaku seseorang, disamping juga tentang peranan organisasi, pergerakan sosial,
atau hubungan timbal balik.[4]
Penelitian
kualitatif banyak diterapkan dalam penelitian historis atau deskriptif.
Penelitian kualitatif mencakup berbagai pendekatan yang berbeda satu sama lain
tetapi memiliki karakteristik dan tujuan yang sama. Berbagai pendekatan
tersebut pemakalah hanya menyajikan empat pendekatan antara lain: penelitian
kualitatif positivistic, naturalistik, simbolik dan kualitatif fenomenologik.
Metode kualitatif menggunakan beberapa bentuk pengumpulan data seperti
transkrip wawancara terbuka, deskripsi observasi, serta analisis dokumen dan
artefak lainnya. Data tersebut dianalisis dengan tetap mempertahankan keaslian
teks yang memaknai dan memahaminya.
B. Pendekatan
Positivistik
Penelitian yang digunakan dalam pendekatan Positivistik, yaitu berpikir
positivistik adalah berpikir spesifik, berpikir tentang empirik melalui
pengamatan yang terukur dan dapat dihapuskan (eliminasi) serta dapat
dimanipulasikan, dilepaskan dari satuan besarnya. Tata fikir logik yang dominan
dalam metodologi penelitian positivistik adalah sebab akibat (kausalitas),
tidak ada akibat tanpa sebab. Pendekatan positivistik juga merupakan pendekatan
dimana setiap orang yang melakukan penelitian mencoba menganalisa fakta-fakta
dan data-data empiris untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang
mempengaruhi/menyebabkan terjadinya sesuatu hal. Secara umum berita sebagai sebuah produk kerja wartawan
dipahami sebagai sebuah realita yang “direpresentasikan” secara utuh apa
adanya, persis seperti realita yang terjadi di lapangan.
Salah
satu buah pikirannya yang sangat penting dan berpengaruh adalah tentang tiga
tahapan/tingkatan cara berpikir manusia dalam berhadapan dengan alam semesta
yaitu :
·
Tingkatan
Teologi, tingkatan penyelidikan tentang watak realitas (Metafisik), dan
tingkatan Positif
·
Tingkatan
Teologi (Etat Theologique). Pada tingkatan ini manusia belum bisa
memahami hal-hal yang berkaitan dengan sebab akibat. Segala kejadian
dialam semesta merupakan akibat dari suatu perbuatan Tuhan dan manusia hanya
bersifat pasrah, dan yang dapat dilakukan adalah memohon pada Tuhan agar
dijauhkan dari berbagai bencana. Tahapan ini terdiri dari tiga tahapan lagi
yang berevolusi yakni dari tahap animisme, tahap politeisme, sampai dengan
tahap monoteisme.
·
Tingkatan
Metafisik (Etat Metaphisique). Pada dasarnya tingkatan ini merupakan suatu
variasi dari cara berfikir teologis, dimana Tuhan atau Dewa-dewa diganti dengan
kekuatan-kekuatan abstrak misalnya dengan istilah kekuatan alam. Dalam tahapan
ini manusia mulai menemukan keberanian dan merasa bahwa kekuatan yang
menimbulkan bencana dapat dicegah dengan memberikan berbagai sajian-sajian
sebagai penolak bala/bencana.
·
Tingkatan Positif (Etat Positive).
Pada tahapan ini manusia sudah menemukan pengetahuan yang cukup untuk menguasai
alam.
Jika
pada tahapan pertama manusia selalu dihinggapi rasa khawatir berhadapan dengan
alam semesta, pada tahap kedua manusia mencoba mempengaruhi kekuatan yang
mengatur alam semesta, maka pada tahapan positif manusia lebih percaya diri,
dengan ditemukannya hukum-hukum alam, dengan bekal itu manusia mampu
menundukan/mengatur (pernyataan ini mengindikasikan adanya pemisahan antara
subyek yang mengetahui dengan obyek yang diketahui) alam serta
memanfaatkannya untuk kepentingan manusia, tahapan ini merupakan tahapan dimana
manusia dalam hidupnya lebih mengandalkan pada ilmu pengetahuan.
Dengan
memperhatikan tahapan-tahapan sepertti kemukakan di atas nampak bahwa istilah
positivisme mengacu pada tahapan ketiga (tahapan positif/pengetahuan positif). Tahapan
positif merupakan tahapan tertinggi, ini berarti dua tahapan sebelumnya
merupakan tahapan yang rendah dan primitif, oleh karena itu Positivisme
merupakan suatu filsafat yang anti metafisik, hanya fakta-fakta saja yang dapat
diterima. Segala sesuatu yang bukan fakta atau gejala (fenomin) tidak mempunyai
arti, oleh karena itu yang penting dan punya arti hanya satu yaitu mengetahui
(fakta/gejala) agar siap bertindak. kemudian kita melirik pada pendekatan
dibawah ini.
C. Pendekatan Naturalistik
“kualitatif
pendekatan naturalistic” istilah ini menunjukkan bahwa pelaksanaan ini memang
terjadi secara alamiah, apa adanya, dalam situasi normal yang tidak
dimanipulasi keadaan dan kondisinya, menekankan pada deskripsinya secara alami.[5] fenomena dari sudut pandang
partisipan, konteks sosial dan institusional. Sehingga pendekatan kualitatif
umumnya bersifat induktif. Penelitian kualitatif adalah satu model penelitian
humanistik, yang menempatkan manusia sebagai subyek utama dalam peristiwa
sosial/budaya.
Pada
bagian ini menjelaskan interaksi atau pendekatan naturalistik, sebagaimana
pendapat Bagong Suyanto dan Sutinah: Naturalis (wajar) karena peneliti
tidak berusaha memanipulasi atau bahkan menyimulasi suasan penelitian. Hal yang
dikaji adalah situasi dunia nyata sebagaimana terjadi secara wajar. Peneliti
sedapat-dapatnya tidak mengusik ataupun mengontrol. Ia bersikap terbuka
terhadap apa saja yang muncul. Tidak ada kendala-kendala yang telah ditentukan
dari awal terhadap hasil yang diharapkan. [6] Sesungguhnya tidak populer dalam kajian
sosiologi. Dasar pikiran penggunaan istilah interaksi naturalistik tidak lain
adalah kenyataan empiris yang menunjukkan adanya tipe interaksi yang terjadi
secara alamiah di hampir semua masyarakat.
Suatu
interaksi disebut interaksi naturalistik adalah interaksi sosial yang terjadi
karena tuntutan dasar setiap individu yang karena kodratnya ia seharusnya
melakukan interaksi semacam itu. Oleh karena itu, sifat interaksi naturalistik
tersebut tidak dirancang secara sistematis dan tidak pula karena adanya
intervensi. Interaksi itu berlangsung secara natural, di mana satu sama lain
ingin saling mengenal, saling berkomunikasi, saling bertransaksi, dan
seterusnya saling membantu. Secara sederhana, interaksi naturalistik itu
terjadi karena dorongan dari dalam diri individu yang ia lakukan untuk memenuhi
hajat hidupnya sebagai makhluk biologis dan makhluk sosial. Ini mengilustrasikan
karakteristik alamiah dari tipe-tipe interaksi sosial yang dikembangkan oleh
setiap individu yang mengikuti tingkatan kebutuhannya.
Tipe
interaksi yang diutamakan seseorang bergerak dari interaksi yang bertujuan
untuk memenuhi kebutuhan dasar biologis, dan selanjutnya bila kebutuhan itu
sudah terpenuhi maka ia akan menampilkan tipe interaksi untuk memenuhi rasa
aman, dan jika sudah terpenuhi lalu menampilkan tipe interaksi untuk memenuhi
kebutuhan afiliasi, dan seterusnya sampai pada tipe interaksi untuk memenuhi
kebutuhan aktualisasi diri. Interaksi-interaksi yang timbul dari motif
kebutuhan jauh lebih penting daripada interaksi-interaksi lainnya, seperti
faktor kekerabatan dan keagamaan.
Secara
faktual, seseorang akan siap berinteraksi dengan siapa saja (dalam batas
norma-norma sosial) untuk memenuhi kebutuhannya. Bertolak dari fakta-fakta
sosial tersebut dapat disimpulkan bahwa interaksi yang ditimbulkan oleh motif
kebutuhan tumbuh secara natural. Interaksi itu mendorong orang untuk hidup
harmonis dan sejajar dengan anggota masyarakat lainnya, tanpa membedakan latar
etnis dan agama. Interaksi yang bersifat natural semacam ini pasti ditemukan
dalam semua tipe masyarakat, baik pada masyarakat nelayan, pedagang, buruh,
petani, dan sebagainya.
D. Pendekatan Simbolik
Interaksi
simbolik dalam sosiologi juga menunjang dan mewarnai kegiatan penelitian
kualitatif. Sejalan dengan pendekatan fenomenologis, dasar pandangan atas
interaksi simbolik adalah asumsi bahwa pengalama n manusia diperoleh lewat
iterpretasi. Objek, situasi, orang dan peristiwa, tidak memiliki maknanya
sendiri. [7]
Dasar
Interaksi simbolik adalah salah satu model penelitian budaya yang berusaha
mengungkap realitas perilaku manusia. Falsafah dasar interaksionisme simbolik
adalah fenomenologi. Namun, dibanding penelitian naturalistik dan
etnografi yang juga memanfaatkan fenomenologi, interaksionisme simbolik
memiliki paradigma penelitian tersendiri.
Model
penelitian ini pun mulai bergeser dari awalnya, jika semula lebih mendasarkan
pada interaksi kultural antar personal, sekarang telah berhubungan dengan aspek
masyarakat dan atau kelompok. Karena itu bukan mustahil kalau awalnya
lebih banyak dimanfaatkan oleh penelitian sosial, namun selanjutnya juga
diminati oleh peneliti budaya. Perspektif interaksi simbolik berusaha
memahami budaya lewat perilaku manusia yang terpantul dalam komunikasi.
Interaksi simbolik lebih menekankan pada makna interaksi budaya sebuah
komunitas.
Interaksi simbolik adalah interaksi yang memunculkan makna khusus dan
menimbulkan interpretasi atau penafsiran. Simbolik berasal dari kata ’simbol’
yakni tanda yang muncul dari hasil kesepakatan bersama. Bagaimana suatu hal
menjadi perspektif bersama, bagaimana suatu tindakan memberi makna-makna khusus
yang hanya dipahami oleh orang-orang yang melakukannya, bagaimana tindakan dan
perspektif tersebut mempengaruhi dan dipengaruhi subyek, semua dikaji oleh para
penganut interaksinisme atau interaksionis simbolik.
Premis perbedaan mendasar antara fenomenologi dan interaksi simbolik muncul
dari makna katanya sendiri: fenomena dan interaksi. Fenomenologi bertumpu
pada pemahaman terhadap pengalaman subyektif atas gejala
alamiah (fenomena) atau peristiwa dan kaitan-kaitannya, sedangkan
interaksi simbolik bertumpu pada penafsiran atas pemaknaan
subyektif (simbolik) yang muncul dari hasil interaksi. Pada
fenomenologi, ibarat fotografer, peneliti ’merekam’ dunia (pengalaman,
pemikiran, dan perasaan subyektif) si subyek dan mencoba memahami atau
menyelaminya, sedangkan pada interaksi simbolik, peneliti menafsirkan
makna-makna simbolik yang muncul dari hasil interaksi subyek dengan
lingkungannya dengan cara memasuki dunianya dan menelusuri proses pemaknaan
tersebut.
E. Pendekatan Fenomenologik
Perspektif
fenomenologis mempunyai posisi sentral dalam metodologi penelitian kualitatif.
Apa yang menjadi target dalam suatu penelitiannya, bagaimana cara melakukan
dalam kondisi penelitian, serta cara menganalisa hasil penelitiannya hal ini
sangat terpaut pada teori yang sesuai dengan riset. Metode penelitian
kualitatif yang bersifat deskriptif dengan pendekatan Fenomenologi. Bogdan
dan Biklen (dalam Heribertus) Pada dasar itu riset kulitatif bertujuan untuk
mendapatkan pengertian atas subjeknya dari pandangan subjek itu sendiri [8]
Metode ini lebih mudah apabila berhadapan dengan kenyataan-ganda contoh
bentuk penelitian yang nyata, berikut adalah penelitian yang dilakukan dengan
mengangkat permasalahan partisipasi orang tua dalam bentuk pemikiran,
tenaga, dan finansial sebagai peran serta wali murid di Sekolah Dasar negeri 1 Lhokseumawe - Karena
membicarakan watak realitas alamiah ini menghendaki adanya kenyataan- kenyataan
sebagai keutuhan yang tidak dapat dipahami jika dipisahkan dari konteksnya.
penelitian deskriptif dalam hal ini adalah jenis penelitian yang memberikan
gambaran atau uraian atas suatu keadaan sejelas mungkin tanpa ada
perlakuan terhadap objek yang diteliti.
Dengan
demikian, Fenomenologi merupakan pandangan berpikir yang menekankan pada fokus
kepada pengalaman-pengalaman subjektif manusia dan interpretasi-interpretasi
dunia. Fenomenologi diartikan sebagai pengalaman subjektif atau pengalaman
fenomenologikal dan suatu studi tentang kesadaran dari perspektif pokok dari
seseorang. Secara lebih khusus, istilah ini mengacu pada penelitian terdisiplin
tentang kesadaran dari perspektif pertama seseorang.
Dalam
menarik kesimpulan dari data yang dihasilkan, penelitian ini menggunakan teknik
analisis data kualitatif dengan pendekatan induktif. Artinya, peneliti
berangkat dari fakta/ informasi/ data empiris untuk membangun teori. Upaya yang
dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data,
memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari
dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan
memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain.
Dalam
faham fenomenologi dimana obyek-obyek harus diberikan kesempatan untuk
berbicara melalui deskripsi fenomenologis guna mencari hakekat gejala-gejala.
Berkaitan dengan hakekat obyek-obyek, untuk menangkap hakekat obyek-obyek
diperlukan tiga macam reduksi guna menyingkirkan semua hal yang mengganggu
dalam mencapai gejala-gejala yaitu: Reduksi pertama.
Menyingkirkan segala sesuatu yang subyektif, sikap kita harus obyektif, terbuka
untuk gejala-gejala yang harus diajak bicara. Reduksi kedua.
Menyingkirkan seluruh pengetahuan tentang obyek yang diperoleh dari sumber lain,
dan semua teori dan hipotesis yang sudah ada, Reduksi ketiga. Menyingkirkan
seluruh tradisi pengetahuan. Segala sesuatu yang sudah dikatakan orang lain
harus dilupakan untuk sementara, kalau reduksi-reduksi ini berhasil, maka
gejala-gejala akan memperlihatkan dirinya sendiri/dapat menjadi fenomena atau
suatu fakta.
Berdasar
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Penelitian Pendekatan fenomenologi ini
berupaya untuk mendalami atau memahami makna dari berbagai peristiwa dan
iteraksi manusia di dalam situasi yang khusus. Artinya peneliti tidak memahami
makna dari berbagai hal pada sesuatu yang sedang dipelajarinya. Berpijak atas
dasar itu faham penelitian kualitatif ini mempunyai tujuan untuk mendapatkan
pemahaman atau pengertian atas subjeknya dari pandangan subjek itu
sendiri
DAFTAR
PUSTAKA
Strauss
Anselm dan Corbin,Juliet Dasar-dasar Penelitian Kualitatif tatalangkah
dan Teknik-teknik Teoritsasi data.(jogyakarta; Pustaka Pelajar, 2003), Cet.
I. Terj
Maanen
Van, Dabbs J., Faulkner J. M., R. R: Varities of Qualitative
Research. (Beverly Hills, CA. Sage Publications: 1984).
Yin, K.
R, Case Study research : Design and Methods (Beverly Hills,
CA. Sage Publications: 1987)
B. Sutopo Heribertus, Penelitian Kualitatif ,(Surakarta, Dep.
Pend. dan kebudayaan RI. Universitas Sebelas Maret: 1996)
[1] Anselm Strauss dan Juliet Corbin, Dasar-dasar
Penelitian Kualitatif tatalangkah dan Teknik-teknik Teoritsasi data.(jogyakarta;
Pustaka Pelajar, 2003), Cet. I. Terj. hal. 4
[2] Heribertus B. Sutopo, Penelitian
Kualitatif ,(Surakarta, Dep. Pend. dan kebudayaan RI. Universitas
Sebelas Maret: 1996), h. 4
[3] Ibid. h. 6
[4]Ibid.h.4
[5] Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian
suatu pendakatan praktik, (Jakarta: Rineka Cipta, 2006) cet. XIII, hal. 12
[6] Bagong Suyanto dan Sutinah, Metode
Penelitian Sosial berbagai alternatife pendekatan, (Jakarta: Kencana.
2007) cet. III. h. 184
[7] Heribertus. B. Sutopo, Metodologi
Penelitian Kualitatif untuk penelitian kualitatif, (Surakarta\:
1996). h. 29-30
[8] Ibid. h. 29
Komentar
Posting Komentar